Penerapan Cloud Computing Di Instansi
Pemerintahan
Raka Adjie Putawan
Fakultas Teknologi Industri
Universitas Gunadarma
Jl. Margonda Raya 100, Depok, Jawa Barat, Indonesia - 16320
Adjie.raka17@gmail.com
Seiring dengan berkembang teknologo Clould Computing, beberapa instansi pemerintahan sudah merencanakan pemanfaatan Cloud Computing, bahkan banyak yang mulai memanfaatkan teknologi ini. Sedangkan Cloud Compouting, belum
lama sudah mulai diadaptasi di Indonesia. penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan yaitu LKPP, BIG, Balai
APTEK-net BPPT, dan Kementrian Konimfo. Keempat instansi
tersebut dipilih karena merupakan instansi pusat yang diketahui sudah menerapkan Cloud Computing dengan jangkauan
layanan yang luas. Metode analisis yang digunakan adalah
metode komparatif dimana membandingkan keempat objek
penelitian terkait layanan Cloud Computing yang diberikan.
Analisis komparasi menggunakan pendekatan isu dan tantangan Cloud Computing. Studi menghasilkan gambaran penerapan Cloud Computing di instansi pemerintahan beserta saran
yang seharusnya dilakukan.
Cloud Computing | Instansi Pemerintahan | Pemerintahan | Penerapan
PENDAHULUAN. Cloud Computing yang sudah biasa kita
dengar saat ini merupakan perkembangan komputasi yang
sudah terjadi sejak 50 tahun terakhir ini. Cloud Computing
dikenal karena fleksibilitas serta biayanya yang murah (cost
saving). Hal tersebut menjadi alasan paling mendasar bagi
banyak perusahaan sehingga umum menggunakan teknologi
tersebut. Pihak perusahaan tidak perlu repot-repot menyiapkan infrastuktur serta maintenance server mereka sendiri,
yang artinya memangkas biaya perusahaan. Pihak perusahaan juga dapat dengan leluasa memilih layanan yang sesuai
dan dapat diubah sesuai kebutuhan kapan saja. Apabila
dilihat dari keuntungan-keuntungan tersebut akan menjadi
pertimbangan yang tepat bagi pemerintah untuk menggunakan Cloud Computing. Dimana salah satu fokus pemerintah yaitu berorientasi kepada layanan publik. Pemerintah dapat lebih fokus pada “layanan publik”nya serta urusan terkait pemerintahan lain, tanpa perlu memusingkan infrastruktur pendukung di belakangnya. Berdasarkan data
global Cloud Computing scorecard tahun 2016, dari 24 negara yang menjadi 80 persen pasar teknologi informasi (information technology/IT) dunia menunjukkan Indonesia berada pada urutan 20 (Business Software Alliance, 2016).
Data tersebut memberikan gambaran kesiapan negara terhadap cloud computing dilihat dari sisi kebijakannya (privacy environment). Komponen kebijakan yang dilihat antara lain Data privacy, Security, Cybercrime, Intelectual property rights, Support for Industry-Led Standards International
Harmonization of Rules, Promoting Free Trade, IT Readiness
Broadband Deployment. Menurut Frost and Sullivan (Chandrasekaran Kapoor, 2011) faktor keamanan (security) merupakan aspek yang paling penting bagi adopsi Cloud Computing di pemerintahan. Tanpa melihat nilai dari scorecard
dapat kita simpulkan bahwa Indonesia merupakan salah satu
pasar IT khususnya Cloud Computing. Selain pemerintah
harus berbenah di sisi policy environment, seharusnya pemerintah juga tidak boleh ketinggalan menggunakan teknologi
cloud computing. Untuk dapat menerapkan kebijakan terkait
Cloud Computing secara tepat ada baiknya pemerintah memanfaatkan teknologi tersebut, agar bisa merasakan pengalaman menggunakan (experience) secara langsung. Seiring
dengan perkembangan teknologi Cloud Computing, saat ini
sudah ada beberapa instansi pemerintahan yang sudah merencanakan pemanfaatan Cloud Computing, bahkan sudah ada
juga lembaga yang sudah mulai memanfaatkan teknologi ini.
Pemanfaatan teknologi Cloud Computing dirasa dapat membantu pemerintah dalam mengintegrasikan data, selain itu
dari sisi pengguna akan lebih hemat biaya dan waktu, bebas resiko dan juga tidak perlu menyediakan ruangan atau
tempat lagi (space). Beberapa instansi yang sudah menggunakan teknologi Cloud Computing diantaranya LKPP (Lembaga Pengadaan Barang/jasa Pemerintah) yang digunakan
untuk menangani banyak LPSE (Layanan Pengadaan Secara
Elektronik) terkait e-procurement; BIG (Badan Informasi
Geospasial) digunakan untuk memudahkan akses dan sharing data-data spasial mereka; Balai IPTEKnet BPPT (Balai
Jaringan Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan Government
Cloud Service-nya, dan Kementerian Kominfo (Kementerian
Komunikasi dan Informatika) yang digunakan untuk mendukung kinerja instansi.
Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan instrumen wawancara yang dilakukan
kepada kepala, admin, operator dan staf yang mengelola
cloud computing di masing-masing instansi. Responden
yang menjadi objek penelitian ini yaitu LKPP, BIG, Balai
Iptek-net BPPT, dan Kementerian Kominfo. Keempat
instansi tersebut dipilih karena merupakan instansi pusat
yang diketahui sudah menerapkan Cloud Computing dengan jangkauan layanan yang luas. Metode analisis yang digunakan adalah metode komparatif dimana membandingkan
keempat objek penelitian terkait layanan Cloud Coputing
yang diberikan. Analisis komparasinya menggunakan pendekatan isu dan tantangan Cloud Computing yang digunakan
oleh Zwattendorfer dkk (Zwattendorfer, Stranacher, Tauber,
Reichstädter, 2013)
Perkembangan Cloud Computing. Menurut Voas dan
Zhang (Voas Zhang, 2009) ada enam fase perkembangan
komputasi hingga sampai pada Cloud Computing: 1. Mainframe Computing 2. PC Computing 3. Network Computing
4. Internet Computing 5. Grid Computing Pada mulanya
orang-orang menggunakan Mainframe yang dapat diakses
oleh banyak user melalui jendela terminal (Fase Mainframe
Computing). Selanjutnya, penggunaan PC dengan keyboard
dan monitor sendiri (Stand-alone PC) diminati karena dapat memenuhi kebutuhan pribadi tanpa terhubung dengan
Mainframe (Fase PC Computing). Penggunaan PC pribadi terkendala masalah resource sharing, sehingga dibentuklah jaringan yang saling menghubungkan PC dengan PC
dalam jaringan lokal (Fase Network Computing). Fase Network Computing berkembang menjadi jaringanjaringan lokal
yang terhubung secara global (Fase Internet Computing).
Perkembangan selanjutnya mengarah pada pembagian beban komputasi dan penyimpanan (komputasi terdistribusi)
secara transparan (Fase Grid Computing). Akhirnya, pada
Fase Cloud Computing kita dapat memanfaatkan sumber
daya yang ada dengan mudah sesuai kebutuhan melalui internet. Menilik pada definisinya, Cloud Computing menurut NIST (National Institute of Standards and Technology)
Instituition U.S, Department of Commerce yaitu “a model
for enabling ubiquitous, convenient, on-demand network access to a shared pool of configurable computing resources
(e.g., networks, servers, storage, applications, and services)
that can be rapidly provisioned and released with minimal
management effort or service provider interaction.” Sementara definisi menurut Gartner dalam situsnya, “a style of
computing in which scalable and elastic IT-enabled capabilities are delivered as a service using Internet technologies.”
Dari beberapa pengertian di atas dapat didefinisikan Cloud
Computing atau Komputasi Awan sebagai bentuk layanan
menggunakan internet yang digunakan oleh banyak user dan
dapat dipersonalisasi (diatur) dengan mudah tanpa pengguna perlu mengetahui kerumitan infrastruktur di balik itu.
Cloud computing memiliki karakteristik tama yang membedakannya dengan traditional IT. Semua syarat tersebut harus
dipenuhi agar dapat disebut sebagai Cloud Computing (NIST,
2011). Lima karakter utama Cloud Computing antara lain :
1. Broad Network Access Suatu sistem atau layanan dapat
dikatakan Cloud Computing apabila dapat diakses melalui internet. Media akses tidak selalu menggunakan PC ataupun
laptop namun bisa dengan menggunakan smartphone, tablet
atau handheld/gadget yang lain. Sehingga dimanapun kapanpun asalkan tersedia akses internet dapat memakai layanan
Cloud Computing. 2. On-demand Self Service Sesuatu yang
dapat diakses melalui internet saja tidak bisa disebut sebagai cloud. Sebuah situs web berita tidak dapat dikatakan
cloud apabila tidak ada interaksi antara pengguna dan server
tersebut. Cloud Computing mensyaratkan pengguna dapat
memilih layanan sesuai yang diinginkan secara mandiri atau
swalayan. 3. Rapid Elasticity Selain dapat memilih layanan
sendiri, pengguna juga harus dapat mengatur tingkat layanan
yang diinginkan untuk bisa disebut sebagai Cloud Computing. Pengaturan tingkat layanan ini juga termasuk untuk
berhenti dari layanan. Dan efek dari pengaturan yang diubah tersebut dapat dirasakan dengan cepat juga. 4. Resource
Pooling Infrastruktur seperti storage, memory, dan processor
berada dalam satu tempat atau biasa disebut sebagai data center (bisa terdiri dari banyak server). Data center harus dapat
diatur agar dapat digunakan oleh banyak pengguna. Paling
umum dilakukan adalah dengan cara virtualisasi agar satu
server dapat digunakan oleh sejumlah pengguna. 5. Measured Service Kapasitas layanan yang diberikan harus dapat diukur. Artinya ada perbedaan kapasitas layanan tidak
hanya ada satu pilihan saja. Ini merupakan dasar transparansi
pengukuran biaya layanan, walaupun tidak semua penyedia
layanan cloud selalu memasang tarif (ada yang gratis, dengan
resource dan layanan yang minim) Apabila dilihat dari jenis
layanan dasarnya, cloud computing dapat dibedakan menjadi 3, antara lain : 1. SaaS (Software as a Service) Bentuk layanan yang dapat diberikan Cloud Computing dimana
pengguna tinggal memakai saja. Semua kebutuhan sudah
disediakan oleh penyedia jasa (provider). Pengguna hanya
perlu mengakses menggunakan internet. Contoh: Email publik. Pengguna menggunakan layanan email, dimana semua
aspek mendasar komputasi, jaringan, OS, aplikasi dan juga
data dikelola oleh penyedia jasa, misalnya Google. Kita
hanya memakai saja. 2. PaaS (Platform as a Service) Bentuk layanan yang diberikan cloud dimana pengguna disediakan wadah untuk mengembangkan dan meletakkan aplikasi
serta mengelolanya. Sisanya ditangani oleh penyedia jasa.
Contoh: Facebook games. Facebook menyediakan API agar
developer dapat meletakkan games-nya di Facebook. Pengguna bertanggung jawab sendiri atas berjalannya aplikasi dan
data yang dimiliki. 3. IaaS (Infrastructure as a Service) Bentuk layanan yang diberikan cloud dimana kita diberikan tempat untuk mengelola server sendiri. Infrastruktur pendukung
berjalannya server disediakan oleh penyedia jasa. Operating system dipilih oleh pengguna yang kemudian diinstalasi
dan dibantu oleh peyedia jasa. Contoh: Penyedia jasa sewa
server. Penyedia jasa menyediakan server bagi pengguna.
Pengguna bebas menggunakan space tersebut.
Pengukuran Cloud Computing. Salah satu cara untuk
pengukuran Cloud Computing dapat dilihat dari ROI atau return on investment-nya. ROI adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan perusahaan dengan keseluruhan dana yang ditanamkan
dalam aktiva yang digunakan untuk operasinya perusahaan
untuk menghasilkan keuntungan (Munawir, 2007). Namun
pengukuran menggunakan ROI ini umum digunakan oleh perusahaan swasta, bukan oleh lembaga pemerintahan. Karena
perusahaan swasta kebanyakan berorientasi pada profit. Ada
8 cara mengukur ROI dari Cloud Computing menurut Skilton (Skilton, 2010). Cara pengukuran Skilton mengacu pada
pada KPI (Key Performance Index) maka akan terkonsentrasi pada IT capacity dan IT Utilization. Namun sudah
diterjemahkan dari sudut pandang keuntungan bisnis. Diantaranya, Kualitas perubahan layanan, Total efisiensi biaya, Kecepatan penyediaan layanan, Peningkatan Keuntungan dan Penghematan biaya, Pemakaian yang dinamis, Manajemen resiko dan kepatuhan yang meningkat, Pemanfaatan Utilitas, Peningkatan skill dan kemampuan. Pendekatan lain
dilakukan oleh Zwateendorfer dkk yaitu melalui isu dan tantangan Cloud Computing yang dipakai oleh (Zwattendorfer,
Stranacher, Tauber, Reichstädter, 2013) yaitu keamanan,
proteksi dan pemenuhan data, interoperabilitas dan portability, manajemen identitas dan akses, serta auditing. Mereka
menggunakannya dalam penelitian penggunaan Cloud Computing di egovernment di beberapa negara Eropa. Pendekatan
ini lebih cocok dan sudah digunakan khususnya di instansi
pemerintahan terkait Cloud Computing.
Hasil Dan Pembahasan. Berdasarkan hasil wawancara
yang dilakukan kepada kepala, admin, operator dan staf
yang mengelola Cloud Computing di empat sampel instansi
pemerintahan didapatkan gambaran implementasi teknologi
Cloud Computing di masing-masing instansi.
LKPP. LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah) merupakan lembaga yang bergerak di bidang
pengembangan, perumusan dan penetapan kebijakan terkait
pengadaan barang/jasa pemerintah. LKPP saat ini menangani 630 LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) di
masing-masing instansi dan pemerintah provinsi maupun
kota. Masingmasing LPSE menangani servernya sendiri dan
standar data tidak seragam. Integrasi dan komunikasi data
dengan LPSE yang berada di pusat dapat dilakukan dengan mudah, namun untuk LPSE yang berada di tiap daerah
lebih susah ditangani karena faktor jarak. Oleh karena itu,
LKPP mencoba menerapkan teknologi Cloud Computing dimana client-nya nanti adalah LPSE di seluruh Indonesia.
Rencaa pengembangan pemanfaatan teknologi cloud computing LKPP ditangani oleh Direktorat Pengembangan Sistem Pengadaan Secara Elektronik. Pemanfaatan cloud computing bertujuan untuk mendukung sistem e-procurement
yang saat ini sudah berjalan. E-procurement digunakan untuk membantu proses pengadaan barang/jasa di semua LPSE
di Indonesia agar lebih efektif dan efisien. Dengan dikembangkannya cloud computing diharapkan monitoring LPSE
dapat ditangani dengan mudah, karena standar data, file dan
aplikasi diatur langsung oleh LKPP sendiri. Kemudahan
juga akan dirasakan oleh LPSE karena tinggal memakai saja
dan tidak perlu biaya lagi untuk menangani server sendiri.
Rencana penerapan cloud computing di LKPP dilaksanakan
pada awal tahun 2016, dalam dua tahap : Pertama, tahap
uji coba menggunakan jasa sewa cloud kepada pihak ketiga.
Jenis sewa cloud akan menggunakan private cloud agar terjamin kerahasiaan datanya. Tahap ini bertujuan untuk mencoba dan mengukur kesiapan LKPP dalam menerapkan cloud
computing. Kedua, tahap pembangunan cloud computing
secara mandiri oleh LKPP. Cloud computing mandiri inilah yang nantinya akan digunakan untuk menyokong sistem
eprocurement. Sehingga data-data critical dan confidential
dapat dikelola sendiri oleh LKPP. Web sistem e-procurement
juga akan dikembangkan lebih lanjut agar kualitas pelayanan
LPSE lebih baik.
BIG. Badan Informasi Geospasial (BIG) yang sebelumnya
bernama Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(Bakosurtanal) merupakan instansi pemerintahan non kementerian yang menyediakan informasi geospasial sejak
tahun 2012. Geospasial adalah aspek keruangan yang menunjukan lokasi, letak, dan posisi suatu obyek yang berada di
bawah, pada, di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam
sebuah sistem koordinat referensi tertentu. BIG telah memiliki data center yang digunakan untuk mendukung Jaringan
Informasi Geospasial Nasional di 53 Kementerian/Lembaga
dan Pemerintah Daerah, dimana data-data geospasial harus
terintegrasi dan penyebarluasan informasinya dioptimalkan
dengan menggunakan jaringan informasi. Awalnya untuk
pengoptimalan jaringan informasi, BIG membangun serverserver di daerah sebagai simpul jaringan, namun ternyata
hasilnya tidak maksimal karena keterbatasan SDM dan infrastruktur di daerah. Karena keterbatasan tersebut akhirnya
BIG memanfaatkan teknologi cloud computing untuk membangun 300 simpul jaringan virtual. Kegiatan tersebut termasuk dalam Kegiatan Prioritas tahun 2015 Kedeputian Bidang
Infrastruktur Informasi Geospasial (IIG) yaitu “Penyediaan Layanan Sistem Simpul untuk K/L dan Pemda dengan
Teknologi Cloud Computing Geospasial”. Teknologi cloud
computing digunakan BIG untuk memfasilitasi pemerintah
pemerintah daerah agar lebih mudah untuk mengakses datadata spasial, dan meminimalisir terjadinya tumpang tindih
data sesuai dengan kebijakan One Map Policy. Kebijakan
One Map Policy pertama kali tercetus atas perintah langsung dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun
2010 lalu dan masih terus dilaksanakan sampai sekarang.
Pengembangan cloud computing di BIG ini dimulai pada
tahun 2012 untuk memfasilitasi pelayanan simpul jaringan.
Cloud computing yang digunakan oleh BIG sudah diujicobakan di beberapa daerah, diantaranya di provinsi Jawa
Timur, Kabupaten Sampang, Kabupaten Kulonprogo, dan
Kabupaten Pasaman Barat. Pengadaan teknologi cloud computing di BIG menggunakan pihak ketiga dengan teknologi
informasi cloud computing yang termasuk ke dalam jenis
layanan IaaS (Infrastructure as a Service), dimana pihak
ketiga hanya menyediakan infrastruktur IT seperti RAM,
prosesor, dan tempat penyimpanan data (storage) secara virtual sedangkan untuk sistem operasi dan aplikasiaplikasi
yang di-install kedalam cloud disiapkan oleh BIG sendiri.
BIG menggunakan aplikasi open source untuk penyimpanan
data. Pemanfaatan teknologi cloud jenis IaaS ini berjalan
lancar dan tidak ada masalah berarti yang dirasakan BIG.
Saat ini BIG mencoba mengembangkan cloud dengan jenis layanan SaaS (Software as a Service), namun terbentur
kendala karena tidak adanya pihak ketiga yang dapat membangun aplikasi spasial. Selain itu, BIG juga mencoba untuk
mengembangkan sendiri DaaS (Database as a Service).
Balai IPTEK-net BPPT. Balai IPTEKnet (Balai Jaringan Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) merupakan salah
satu unit kerja di bawah BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) yang bergerak di bidang teknologi informasi. Awalnya IPTEKnet memberikan layanan jasa ISP (Internet Service Provider) untuk instansi-instansi pemerintahan. Namun seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang ke arah teknologi cloud computing maka pada tahun 2010 IPTEKnet merubah
jasa layanannya menjadi penyedia Government Cloud Services (GCS). Tidak jauh berbeda dengan layanan jasa cloud
computing yang dikembangkan oleh pihak swasta, sebagai penyedia jasa cloud computing untuk instansi pemerintahan Balai IPTEKnet memiliki pilihan-pilihan paket yang
ditawarkan sesuai kebutuhan meliputi jasa hosting, storage,
dan server. Jasa tersebut diberi nama e-Gov Cloud. eGov Cloud bertujuan untuk memudahkan instansi pemerintahan, baik pusat maupun daerah, dalam implementasi
eGovernment. Kelebihan e-Gov Cloud yang dikembangkan
oleh Balai IPTEKnet ini adalah selain dari segi harga yang
lebih murah dibandingkan penyedia jasa cloud computing
swasta, keamanan data instansi pemerintahan yang menggunakan e-Gov Cloud ini juga lebih terjamin karena Balai
IPTEKnet membangun server sendiri, dan pengelolaannya
pun langsung dilakukan oleh pihak Balai IPTEKnet. Untuk menunjang pengembangan eGov Cloud, Balai IPTEKnet
membangun data center dengan standar internasional yang
berlokasi di Serpong dan Durentiga, serta membangun Data
Recovery Center (DRC) di Batam. Layanan cloud computing yang diberikan oleh Balai IPTEKnet sudah mencakup
IaaS, PaaS, dan SaaS. Balai IPTEKnet juga menyediakan aplikasi eGovernment seperti aplikasi persuratan, monitoring
dan evaluasi yang dapat langsung digunakan dalam sistem
cloud computing yang diberikan oleh Balai IPTEKnet. Mitra pengguna jasa layanan cloud computing Balai IPTEKnet
ini adalah instansi pemerintah pusat dan daerah, beberapa
instansi yang sudah menggunakan jasa Balai IPTEKnet antara lain Kementerian PANRB, BPPT, Lemigas, Pemkot Bogor, Pemkot Depok dan Pemkot Yogyakarta. Saat ini Balai
IPTEKnet sedang merencanakan pengembangan jaringan
untuk meningkatkan fasilitas jasa layanan cloud computing mereka. Rencana pengembangan yang akan dilakukan
adalah dengan high availability network configuration dengan perangkat khusus, redundancy local loop dengan jalur
yang berbeda, serta penambahan kapasitas UPS.
Kementerian Komunikasi Dan Informatika. Kementerian
Komunikasi dan Informatika sebagai salah satu kementerian
yang fokus pada perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi sudah menggunakan teknologi cloud computing sejak tahun 2013. Pusat Data dan Sarana Informatika (PDSI)
merupakan salah satu unit kerja di Kementerian Kominfo
yang fokus mengembangan sistem cloud computing untuk
mendukung kinerjanya. PDSI melayani permintaan server
dari direktorat teknis internal Kominfo yang membutuhkan,
dengan memberikan server virtual. Layanan tersebut termasuk ke dalam jenis layanan IaaS. Selain itu, PDSI sudah
menerapkan SiMAYA yang digunakan di seluruh unit dan
satuan kerja sebagai bagian dari implementasi e-government
di lingkungan Kementerian kominfo. SiMAYA termasuk
dalam jenis layanan PaaS dan SaaS sekaligus. Awalnya, sistem cloud computing yang digunakan berbasis open source.
Namun, seiring dengan banyaknya permintaan server maka
PDSI mengembangkan sistem cloud computing sendiri dengan dibantu instalasinya oleh pihak ketiga. Sesuai dengan permintaan server dari tahun ketahun, pada tahun 2013
sudah dibangun 20 server virtual, meningkat pada tahun
2014 ditambah lagi menjadi 40 server virtual, dan pada
tahun 2015 bertambah lagi menjadi 80 server. Salah satu
contoh pelayanan permintaan server virtual yang diberikan
PDSI adalah website http://skim.kominfo.go.id yang digunakan oleh Badan Litbang SDM untuk melakukan survei
penelitian secara online.
Komparasi Penggunaan Layanan Cloud Computing.
Dari hasil yang telah didapat melalui wawancara tersebut di
atas dapat dikomparasikan penggunaan layanan cloud computing di pemerintahan. Komparasi dilakukan dengan mengacu pada isu dan tantangan cloud computing yang dipakai
oleh Zwateendorfer dkk (Zwattendorfer, Stranacher, Tauber,
Reichstädter, 2013) yaitu keamanan, proteksi dan pemenuhan
data, interoperabilitas dan portability, manajemen identitas
dan akses, serta auditing. Dari sisi keamanan, proteksi dan
pemenuhan data, seharusnya penyediaan infrastruktur dari
perangkat keras, perangkat lunak serta jaringan dan lainnya
dibangun secara mandiri oleh pemerintah, bukan dari pihak
ketiga. Ini diperlukan untuk alasan keamanan data, karena
data yang menyangkut informasi suatu negara seharusnya
bersifat rahasia kecuali untuk data-data tertentu yang masih
bisa dibagikan ke publik (open access). Atau data-data tertentu yang hanya bisa diberikan kepada publik namun dengan
tujuan tertentu bisa dengan seizin institusi (Undangundang
Keterbukaan Informasi, 2008). Dengan pemenuhan penyelenggaraan layanan cloud computing secara mandiri dapat
meminimalisir isu keamanan tersebut. Hal ini masih terlihat
pada salah satu responden. Namun kembali pada data-data
yang dikelola, apabila memang open access bisa juga menggunakan pihak ketiga. Selain itu faktor teknis dan manajemen pengelolaan keamanan informasi, serta sisi auditing dari
penyelenggaraan juga harus diperhatikan. Pemenuhan unsur
teknis dan manajemen keamanan informasi sebaiknya mengacu pada standar keamanan seperti ISO 27001 tentang Manajemen Keamanan Teknologi Informasi (International Organization for Standardization, 2017) serta Permen Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (Peraturan Pemerintah No 82 tahun 2012, 2012). Dari sisi interoperabilitas
dan portabilitas, hendaknya penyedia cloud computing memberikan level servis yang sama pada setiap klien, kecuali
bagi yang memang menyediakan layanan cloud bagi pihak
lain. Untuk pemenuhan interoperabilitas, langsung berkaitan dengan jenis layanan tertentu yaitu Software as a Service
(SaaS). Misal untuk pengelolaan data yang seragam maka
perlu standar basis data sampai pada level teknisnya sama.
Jadi untuk data cloud yang ingin dikelola bersama sebaiknya
layanan yang diberikan adalah SaaS. Dapat dilihat pada
tabel bahwa semua instansi pemerintah sudah menggunakan
SaaS. Aspek portabilitas sudah ada namun kurang fleksibel.
Karena kebanyakan instansi pemerintahan masih dalam tahap
awal pengembangan. Instansi banyak menggunakan aplikasi
berbasis web. Keuntungan aplikasi berbasis web bisa juga
diakses melalui smartphone, namun terkadang masih kurang nyaman apabila belum ada tampilan khusus mobile-nya.
Akan lebih baik apabila bisa dikembangkan versi aplikasi
yang ter-install berbasis android ataupun iOS. Dari sisi manajemen identitas dan akses, hendaknya diberikan dashboard
atau halaman pengaturan layanan bagi penyedia layanan jenis IaaS dan PaaS. Untuk SaaS biasanya langsung kepada
lapisan pengguna paling bawah, sehingga tidak diperlukan.
Dari keempat responden belum menyediakan kemudahan
pengaturan layanan. Pemenuhan atau pengubahan tingkat
layanan masih dijalankan secara manual. Misal pengguna ingin menambah kapasitas penyimpanan data masih dilakukan
dengan cara menghubungi pihak penyelenggara. Apabila ada
dashboard atau halaman khusus untuk itu maka akan memberikan kemudahan bagi pengguna. Akhirnya, pemenuhan
layanan cloud computing akan terasa bedanya dengan webclient based apabila didukung dengan infrastruktur yang
bisa memenuhi skalabilitas dan kecepatan yang mumpuni
sehingga bisa melayani semua pengguna. CAPEX dari infrastruktur Cloud Computing sangat besar, namun apabila
dibandingkan dengan kegunaanya untuk banyak pengguna
apalagi jika disewakan maka akan memberikan pendapatan
yang bisa digunakan untuk mengupgrade dan maintenance
sistem dan perangkat.
Isu Lambatnya Cloud Computing Diadopsi. Selain
keempat responden yang sudah menerapkan layanan cloud
computing, masih banyak instansi pemerintah yang belum
menggunakan cloud computing. Faktor yang menjadi
kendala antara lain: (1) Data center pribadi masih menjadi
pilihan dari banyak kalangan termasuk di instansi Pemerintah. Ini tidak terlepas dari faktor kerahasiaan informasi,
keamanan data, dan masih merasa belum perlu berpindah ke
cloud, karena data center yang ada masih bisa dipakai. (2)
Proses migrasi akan menyita waktu sedangkan proses bisnis harus tetap berjalan. Perlu perencanaan bersama lintas
sektor pemerintahan dari atas sampai bawah sehingga secara perlahan bisa bermigrasi ke cloud computing. (3) Minimnya riset juga menjadi salah satu penyebab cloud computing lambat diterapkan. Riset-riset yang valid dan dengan hasil yang positif akan memacu penggunaan cloud computing. Risetriset intern juga perlu dilakukan karena kondisi, kemampuan, dan kebutuhan internal instansi masingmasing berbeda. (4) Cloud computing merupakan teknologi
yang masih terbilang baru di Indonesia. Jumlah sumber daya
manusia yang ahli di bidang cloud computing masih sedikit.
Selain itu, sumber daya manusia yang paham secara teknis dan operasional juga diperlukan untuk keberlangsungan
teknologi ini.
Penutup.
A. Simpulan. Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Penyelenggaraan
layanan cloud computing di empat instansi pemerintah
sudah melakukan penyediaan infrastrukur secara mandiri,
artinya sadar dengan isu keamanan yang berhubungan dengan kepemilikan infrastruktur. Ada satu responden yang
menggunakan pihak ketiga, namun disarankan mengadakan
secara mandiri apabila data memang tergolong rahasia dan
menyangkut informasi negara yang berbahaya. Isu interoperabilitas yang sering diperbincangkan bisa diatasi dengan penerapan SaaS. Ini sudah digunakan oleh keempat responden.
Instansi pemerintah yang memang mengelola banyak data
dengan klien yang diharapkan memiliki standar data yang
sama bisa menerapkan Cloud Computing tipe layanan SaaS.
Penerapan Cloud Computing dari empat responden masih
dalam proyek percobaan (trial) atau masih dalam tahap awal
belum sampai 5 tahun. Mengingat ini teknologi baru, wajar
bagi penyelenggara dan pengguna butuh waktu untuk berpindah teknologi. Dari sisi penyelenggara masih menjaring minat pasar, sedangkan dari sisi pengguna masih belum percaya
sepenuhnya, sehingga baru mencoba.
B. Saran. Untuk dapat mempercepat proses adopsi cloud
computing khususnya di instansi pemerintahan, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya: Perlunya
perencanaan bersama lintas sektor pemerintahan dari atas
sampai bawah sehingga secara perlahan bisa bermigrasi ke
cloud computing; Perlunya studi kesiapan (feasibility study)
terkait kemampuan, dan kebutuhan internal instansi masingmasing karena kondisinya berbeda-beda; Perlunya sarana
peningkatan ketrampilan sumber daya manusia secara teknis
dan operasional untuk keberlangsungan teknologi ini.
C. Daftar Pustaka.
Business Software Alliance. (2016).
BSA Global Cloud Computing Scorecard - A Blueprint for
Economic Opportunity. The Software Alliance.
Chandrasekaran, A., Kapoor, M. (2011). State of Cloud
Computing in the Public Sector – A Strategic analysis of the
business case and overview of initiatives across Asia Pacific.
Frost and Sullivan.
Community Server Blogs. (2015). Diambil kembali dari MSDN BLog: msdnshared.blob.core.windows.net/media/MS
DNBlogsFS/prod.evol.blogs.msdn.com/ CommunityServer.Blogs.Components.Weblog
Files/00/00/00/84/18/metablogapi/5277.image
38F744F2.png
International Organization for Standardization. (2017,
December 11). Diambil kembali dari ISO/IEC 27000
family - Information security management systems:
https://www.iso.org/isoiec-27001-informationsecurity.html
Munawir, S. (2007). Analisa Laporan Keuangan. Yogyakarta: Liberty.
NIST. (2011). Visual Model of Cloud Computing Definition.
National Institute of Standards and Technology.
Peraturan Pemerintah No 82 tahun 2012. (2012). Penyelenggaraan Sistem dan Teransaksi Elektronik. Indonesia.
Skilton, M. (2010, May 28). 8 ways to measure
cloud ROI. Dipetik March 13, 2017, dari Network
Asia: http://www.networksasia.net/article/8-waysmeasurecloud-roi-1275010162/page/0/1
Undang-undang Keterbukaan Informasi. (2008, April 30).
Undang-undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Indonesia.
Voas, J., Zhang, J. (2009). Cloud Computing: New Wine or
Just a New Bottle? IT professional, 15-17.
Zwattendorfer, B., Stranacher, K., Tauber, A., Reichstädter,
P. (2013). Technology-Enabled Innovation for Democracy, Government and Governance Cloud Computing in EGovernment Accross Europe - A Comparison. Lecture Notes in
Computer Science Volume 8061 (hal. 181-195). Springerlink.